NPM : 22210720
Kelas : 3EB17
Penalaran deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, isntrumen, dan operasionalisasi. Dengan kata lain untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dialakukan penelitian di lapangan.
Penalaran deduktif dikembangkan oleh Aristoteles, Thales, Pythagoras, dan para filsuf Yunani lainnya dari Periode Klasik (600-300 SM). Penalaran deduktif tergantung pada premisnya artinya premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat dilihat dari cara penerapannya. Penalaran deduktif dimulai dengan bukti-bukti umum setelah itu ditarik kesimpulan yang khusus. Sedangkan penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.
* Contoh klasik penalaran deduktif (dari Aristoteles) :
- Semua manusia fana (pasti akan mati). (permis mayor)
- Sokrates adalah manusia. (premis minor)
- Sokrates pasti (akan) mati. (kesimpulan)
Menurut bentuknya, penalaran deduktif mungkin merupakan silogisme dan entimem.
>> Silogisme
Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan "Ia dihukum karena melanggar peraturan "X", sebenarnya dapat kita kembalikan ke dalam bentuk formal berikut:
Secara singkat silogisme dapat dituliskan : Jika A=B dan B=C maka A=C
>> Entimem
Sumber : >> http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran#Metode_deduktif
Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan "Ia dihukum karena melanggar peraturan "X", sebenarnya dapat kita kembalikan ke dalam bentuk formal berikut:
a.
Barang siapa melanggar peraturan "X" harus dihukum.
b. Ia melanggar peraturan "X"
c. la harus dihukum.
Bentuk seperti itulah yang disebut silogisme.
Kalimat pertama (premis mayor) dan
kalimat kedua (premis minor)
merupakan pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan (kalimat ketiga). Secara singkat silogisme dapat dituliskan : Jika A=B dan B=C maka A=C
>> Entimem
Di
atas telah disinggung bahwa silogisme jarang sekali ditemukan di dalam kehidupan
sehari-hari. Di dalam tulisan pun, bentuk
itu hampir tidak pernah digunakan. Bentuk yang biasa ditemukan dan dipakai ialah bentuk entimem. Entimem ini pada dasarnya adalah silogisme. Tetapi, di
dalam entimem salah satu premisnya dihilangkan/tidak
diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.
Contoh:
Contoh:
Menipu
adalah dosa karena merugikan orang lain.
Kalimat
di atas dapat dipenggal menjadi dua:
a.
menipu adalah dosa
b.
karena (menipu) merugikan orang lain.
Kalimat
a merupakan kesimpulan sedangkan kalimat b
adalah premis minor (karena bersifat khusus). Maka silogisme dapat
disusun:
My : -
Mn : menipu merugikan orang lain
K : menipu adalah dosa.
K : menipu adalah dosa.
Dalam kalimat di atas, premis yang dihilangkan adalah premis mayor. Untuk melengkainya harus ingat bahwa premis mayor selalu bersifat lebih umum, jadi tidak mungkin subjeknya "menipu". Kita dapat menalar kembali dan menemukan premis mayornya : Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa.
Sumber : >> http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran#Metode_deduktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar